Rabu, 25 Januari 2012

Pop Rice Jombang


Makan popcorn alias brondong jagung pasti sudah bahkan sering. Iya kan? Kalau brondong ketan bagaimana?....... Brondong ketan memang bukan makanan modern, ia adalah makanan yang sudah ada dari zaman doeloe kala, namun sekarang pasti banyak yang tidak tahu itu makanan apa. Jombang punya desa yang produksi makan ini, yaitu di kecamatan ploso, tepatnya dusun Ngemplak desa Bawangan. Selain disini entah dimana lagi, sudah sulit ditemukan. Bahkan di desa ini hanya ada 7 orang saja yang memproduksi.

Proses pembuatannya sebenarnya cukup rumit. Pengolahannya dari gabah ketan yang telah mengering sampai jadi brondong sangat menyita waktu pembuatnya. Tapi mereka yang membuat senang-senang saja melakukan pekerjaan ini.

Singkat proses adalah, awalnya, gabah ketan yang kering digoreng di kuali. Agar penggorengan tidak lengket, maka digunakan abu dapur sejumput sebagai pengganti minyak goreng. Uniknya, menggorengnya menggunakan sapu lidi untuk mengaduk. Setelah ketan mengembang dari proses penggorengan, maka ia dibiarkan dingin. Barulah, jika sudah dingin dilakukan pengayakan. Pengayakan ini dilakukan untuk memisahkan ketan dengan kulitnya atau dengan beras nasi yang mungkin ikut tercampur. Untuk membedakan beras nasi dengan beras ketan sendiri sangat mudah. Jika beras nasi dia tidak akan bisa mengembang saat digoreng layaknya beras ketan. Proses pengayakan ini minimal dua kali agr brondong benar-benar bersih.

Setelah mengayak, maka selanjutnya yang dilakukan nadalah pengepalan agar berbentuk bulat. Saat membuat kepalan brondong, sarung tangan harus dibasahi dengan olesan gula cair (gula yang dicairkan hingga kental). Selain agar rasa brondong manis juga agar kepalan bisa lengket dan berbentuk bola-bola brondong. Ibu Laminten dengan tetangga beliau, Bapak Seran biasa memproduksi jajanan ini mulai malam hingga dini hari. Dan di pagi harinya, saat hasil gorengan ketan sudah dingin dan bersih dari campuran barulah beliau melakukan pengepalan.

Jika melihat proses produksinya, harga yang ditawarkan penjual bola-bola brondong tidaklah mahal.harga per pak berkisar anatara Rp. 700, - hingga Rp. 1000,-. Apalagi sekarang bukan musim panen ketan sehingga harga ketan mahal.

Yang unik lagi adalah penggorengan dan ayakannya. Penggorengannya adalah kuali yang lebih besar dan tebal dari kuali pada umumnya, sedangkan ayakannya juga demikian, lebih lebar dan rapi rajutannya. Saat ditanya apaka alat itu dibuat sendiri, beliau menjawab, “Untuk penggorengannya tidak dijual, tapi dipesan diDesa Mambang, khusus untuk menggoreng brondong. Eregnya (ayakan-red) juga dipesan khusus terbuat dari ayakan bambu. Harga penggorengannya sepuluh ribu, sedangkan ayakannya lima puluh ribu,”.

Ibu Laminten dan Bapak Seran memproduksi jajanan ini bukan untuk dijual eceran, melainkan untuk dijual ke tengkulak. Selama ini pemasaran yang dilakukan Ibu Laminten adalah disekitar Ploso dan Megaluh. Lebih luas lagi Pak Seran, pasarannya mulai Jombang kota, kecamatan sekitar Jombang kota hingga sampai ke Gempol dan Porong. Selain itu, Beliau juga menerima pesanan.

Penasaran dan ingin mencoba? Ayo, hunting bola-bola brondong……….[red-]

Tahu Bunder Ploso

Sudah menjadi menu wajib bagi masyarakat untuk makanan yang satu ini. Terbuat dari kedelai yang memberikan banyak asupan protein bagi tubuh konsumennya. Benar sekali..... makanan ini adalah “tahu”. Apa yang terbesit pertama kali saat kita membicarakan tahu? Secara fisik umumnya tahu akan berbentuk persegi (kotak). Dalam kreasinya, dewasa ini muncullah tahu yang bentuknya bulat. Akhir-akhir ini, tahu bulat banyak menghiasi deretan jajanan di kota Jombang. Padahal, tahu yang berbentuk bulat sebenarnya sudah lama ada di Jombang. Beberapa tahun silam seorang mahasiswa asli Jombang yang kuliah di luar kota pernah dititipi temannya oleh-oleh tahu bulat. Mereka lazim menyebutnya dengan “tahu bunder”. Spontan saja mahasiswa tersebut keheranan, kemudian bertanya, “Tahu saja minta dari Jombang. Apa bedanya dengan tahu disini?” “Ya beda. Tahu bunder itu kan asli Jombang, dan hanya ada di Jombang. Kalau disini tahunya kotak-kotak. Kamu ini orang Jombang kok tidak tahu?”


Dari sini barulah ia sadar ternyata tahu bunder yang setiap hari dibeli ibunya adalah makanan khas Ploso, salah satu kecamatan di Jombang. Produksi tahu bunder ini memang banyak ditemukan di Ploso, terkhusus Desa Rejoagung. Namun, tahu bunder yang dimaksud disini berbeda dengan “tahu pong”. Dari ukurannya, penjual tahu bunder mengklasifikasikan tahu bunder menjadi ukuran kecil dan besar. Jenisnya pun ada dua macam. Ada yang padat dan ada yang berongga. Dari penampilannya, memang bagus yang berongga, karena ia menggunakan soda makanan dalam pembuatannya sehingga teksturnya halus. Namun dari segi keawetan, tahu yang padat lebih awet. Jika yang berongga hanya tahan setengah hari saja, maka tahu bunder yang padat dapat bertahan hingga dua hari tanpa bahan pengawet. Untuk pembuatannya tidak terlalu ribet. Awalnya adalah meniris tahu mentah hingga kandungan airnya rendah. kemudian diberi racikan bumbu masak ditambah garam. Setelah tahu dan bumbu menyatu barulah tahu dikepal untuk mendapat bentuk bulat, dan barulah bulatan-bulatan tahu digoreng. Yang perlu diperhatikan adalah kandungan air tahu. Kandungan air yang tinggi pada tahu dapat membuat tahu pecah saat di goreng, untuk itu proses penirisan harus benar-benar baik.


Salah seorang pembuat tahu bunder di Rejoagung Ploso sendiri mengungkapkan, jumlah produksi setiap harinya berkisar hingga 130 paket dengan per paket isinya 10 biji. Untuk pemasarannya adalah wilayah Ploso sampai wilayah di Kabuh yang berbatasan dengan Lamongan. Namun bukan beliau sendiri yang memasarkan, tahu-tahu produksinya itu dibawa oleh para pedagang sayur keliling. Selain itu, beliau sering mendapat pesanan untuk hajatan atau dibeli orang untuk dijadikan oleh-oleh saat keluar kota, seperti ke Jakarta, Jogja, Malang, Bogor, dll.


Bagaimana pembaca? Tertarik untuk mencoba tahu bunder khas Ploso? Bisa kita dapatkan di daerah Ploso dan sekitarnya dengan harga terjangkau. Sangat oke juga jika tahu bunder ini dijadikan alternatif oleh-oleh khas Jombang saat silaturrahim ke saudara yang di luar kota. Di jamin enak! Coba saja!......[Syilvi]

Senin, 23 Januari 2012

Seribu Lumpiya Jamur


Jamur menjadi makanan primadona akhir-akhir ini. Banyak sekali orang yang membudidayakannya. Penjual berbagai olehan jamur juga menjamuri masyarakat kita dalam di tahun-tahun terakhir ini. Ada jamur Krezz, ada keripik jamur, dan kali ini yang menjadi salah satu khasnya kota Jombang adalah Lumpia jamur. Tak asing bagi kita lumpia yang dalamnya berisi mie, dengan wortel dan lain-lain, atau lumpia isi sayur rebung. Jamur menjadi isi lumpia. Inilah yang menjadi usaha dari bapak Muslich, warga Kali Malang yang outletnya ada di jalan Kusuma Bangsa dengan menyewa bagian teras rumah Rp.250.000,- setiap bulannya.

Bapak Muslich, alumni Pondok Pesantren Darul Falah Bogor ini merintis usaha berdagang lumpia jamur sejak 2 tahun yang lalu. Usaha ini ada sebagai ganti dari usaha advertising beliau yang mengalami kebangkrutan. Bapak dari dua orang putri ini memulai usaha lumpia jamurnya dengan modal Rp.270.000,-. Kini usahanya semakin berkembang, dalam bulan November ini saja beliau sudah berhasil membuka cabang di Jogoroto. Beliau mengaku ingin sekali nantinya usaha lumpia jamurnya ini membuka cabang ke daerah-daerah timur, hingga ke mojokerto dan sekitarnya.

Setiap bulannya 20 sampai 25 kg jamur kering diperlukan oleh Pak Muslich. Jamur-jamur ini beliau dapatkan dari petani jamur di jawa tengah. Wah... mengapa jauh sekali? “Karena harganya lebih murah daripada beli di Jombang,” Ungkap beliau.
Dan tahukah anda berapa harga yang ditawarka Pak Muslich untuk lumpia jamur yang nikmat?
“Harganya seribu rupiah saja,” Terang beliau dengan tenang.
“saya tidak mau menjual terlalu mahal, karena masyarakat kita macam-macam, dan saya ingin semua orang bisa menikmati lumpia jamur. Selain itu, orang akan lebih kecewa jika membeli makanan mahal tetapi dirasa tidak enak daripada orang membeli dengan harga yang tidak mahal dan dirasa tidak inak. Jadi saya mengantisipasi hal itu.

Ketika ditanya mengapa beliau bertahan sampai 2 tahun jualan lumpia jamur, dengan ketenangan beliau menjawab, “Saya lebih tenang jualan negini daripada advertising, karena tidak dikejar tuntutan orang lain.”
Dan Pak Muslich sangat menyadari Allah akan menguji hambaNya dengan ujian yang berbeda-beda. Ujian untuk beliau yang paling dirasakan adalah ketika beliau harus ikhlas pembelinya batal membeli karena dagangannya beliau tinggal untk melaksanakan sholat.

“Saya ikhlas saja, karena rezeki Allah itu sudah ditentukan. Kalau ada pembeli tidak jadi beli karena tidak mau menunggu saya sholat ya tidak apa-apa,” jelas lelaki yang mengaku ingin mengembangkan usahanya dengan mempekerjakan orang-orang yang perlu kerja.

Motto hidup yang membuat hidup beliau begitu teguh prinsip adalah tekad beliau untuk hidup mandiri dengan nilai-nilai islam. Dan beliau selalu meyakini nasihat guru beliau agar menjadi manusia yang membuka peluang kerja, bukan pencari kerja, agar dapat membuka lapangan pekerjaan untuk masyarakat.[Syilvi]






Senin, 16 Januari 2012

Jumat, 06 Januari 2012

OLAHAN TANAH MASYARAKAT JOMBANG

Adalah seorang  Mbah sunarti, wanita tangguh berusia 73 tahun yang begitu semangat menapaki hari-hari kehidupan dengan ketekunan berjibaku dengan tanah. Sejak usia yang cukup muda, 12 tahun beliau telah menjadi pengrajin tanah liat. Bukan membuat batu bata atau genteng, tapi oleh tangan beliau adalah tanah liat tergarap menjadi cobek, kendi, dan tunggu sederhana. Berbagai ukuran beliau buat. Dan inilah usaha turun temurun yang ada di keluarga beliau, mulai dari kakeh-nenek, ibu-bapak, Bu Sunarti dan suami (alm.) dan kini anak beliau semua menjadi pengrajin tanah liat.

Mungkin manakala yang dilihat adalah rentang begitu panjangnya usia usaha, bisa dikira usaha Mbah Sunarti kini telah mencapai puncak kesuksesan. Akan tetapi ternyata tidaklah demikian, usaha yang telah berjalan hampir 1 abad ini hingga sekarang rimbanya tetap tak berkembang. Perharinya untuk produksi cobek (berbagai ukuran) beliau hanya mampu menghasilkan 10 cobek. Harga jualpun ternyata tak setinggi yang dikira, dari penjualan 50 biji cobek yang dihasilkan setiap 2 minggu sekali, beliau meraup untung hanya sebesar Rp.65.000,00. Hemmm.......padahal proses pembuatannya tidak mudah lho......

Dalam 2 minggu, Mbah Sunarti membutuhkan bahan mentah tanah yang biasanya ditukar dengan uang  Rp.15.000,00, tanah itu kemudian digiling dengan ongkos giling Rp.10.000,00. Tanah yang telah digiling tersebut  di cetak menjadi cobek atau lainnya.. Tak berhenti sampai disitu, cobek yang telah dicetak akan dikeringkan 3 sampai 4 hari dahulu sebelum dibakar. Nah..... setelah dibakar, cobek siap dipasarkan.
Target pasar adalah sekitar Jombang sampai ke Kalimantan. Namun Mbah Sunarti tak melakukan penjualan sendiri, Ibu dari tujuh putra ini menyetorkan kepada distributor untuk menjual produksinya. Jarang sekali ada pembeli yang langsung datang kerumah yang sekaligus perusahaan beliau. Namun distributor mencari hasil karya beliau karena kualitas yang terkenal bagus. Apa yang menentukan kualitas itu? “ hasil buatan tangan dengan dengan mesin berbeda,” jelas Mbah Sunarti tentang alasan kualitas. Yupz.... mbah Sunarti dari awal usaha memang mencetak cobek secara manual, dengan tangan. Cobek hasil kelincaahan tangan beliau banyak dicari, namun usia tua menghalangi. Saat ditanya keinginan untuk memiliki mesin pencetak beliau dengan tegas menjawab, “Tidak..... meskipun dengan mesin bisa mencetak 300 per hari sedang dengan tangan hanya 10 per hari, tapi hasil mesin tidak sebagus tangan. Jadi, tidak kepingin punya mesin..... Begini saja.”

Itulah sepenggal kisah salah seorang pengrajin tanah liat masyarakat Jombang. Di belahan Jombang bagian timur, tepatnya dusun Kebon Dalem desa Kademangan Mojoagung warganya mayoritas mempunyai usaha rumahan membuat karya dari tanah liat. Jika menengok Desa Gambang Gudo yang indah terias usaha manik-maniknya, di daerah sini tiap deretan rumah senada dengan indahnya deretan cobek, kendi, dll. Tak mahal harga beli disini, untuk cobek manual yang ukuran besar mentah (belum dibakar) harganya hanya Rp.800,00 sedangkan matangnya (sudah dibakar) Rp.1300,00. Sedang cobek mesin ukuran besar mentah hanya Rp.500,00 sedang matang Rp.700,00.
Bagaimana saat ramadhan tiba?..........

“Kalau puasa malah kendo (menurun untungnya-red) ...... tenaga banyak, permintaan banyak, tapi harga tetap. Usaha begini memang untungnya tidak seberapa, tapi mbah senang. Meski tua tapi semangat kan?..... Itu karena punya kesibukan..... tidak apa-apa uang sedikit yang penting bisa tenang ibadah ke Gusti Allah,” Ujar Mbah Sunarti diakhiri tawa tuanya yang renyah.
Semoga Barokah usaha Mbah Sunarti dan teman-teman pengrajin tanah liat yang memperkaya kreatifitas langit Jombang...... Bagi yang ingin beli cobek, kendi, atau kerajinan tanah liat yang lain ayo anjangsana ke Kebon Dalem Kademangan Mojoagung! [Syilvi]

Sedekah Ini Sumber Air Mataku

Apa yang terlintas di benak kita saat membayangkan yang namanya ‘air mata’? Pasti mayoritas kita akan menjawab tangisan. Secara umum tangisan identik dengan kesedihan. Banyak orang berharap agar air matanya tak berlinang. Namun, lain halnya dengan seorang Ibu yang berdomisili di Malang ini. Sebut saja nama beliau Ibu Hana (nama samaran). Bagi Ibu Hana, air mata adalah hal yang luar biasa langka, beliau sangat ingin punya air mata yang cukup. Pasalnya, Ibu Hana adalah seorang ibu rumah tangga yang mempunyai kelainan pada organ mata beliau. Mata Ibu Hana secara alami kondisinya kekurangan air mata. Tentunya kita tahu, air mata sangat diperlukan untuk menjaga kelembaban dan membersihkan mata kita.
Segala upaya sudah dilakukan. Dokter spesial mata sudah didatangi, tetes mata khusus yang bekerja sebagai pengganti airmata sudah cukup lama beliau gunakan. Hingga beberapa bulan kemudian, dokter mengabarkan kondisi mata beliau tidak memungkinkan lagi dirawat dengan tetes mata itu, dan dokter menyarankan untuk operasi. Masalah biaya, putra putri beliau sanggup menanggung dengan gotong-royong, tapi beliau masih mikir-mikir untuk melakukan operasi itu. Bukan karena biaya yang cukup tinggi, melainkan karena resiko operasi yang diterangkan dokter cukup tinggi.
Muncul sebuah keyakinan pada hati seorang Bu Hana saat beliau menyimak tentang hakikat sebuah sedekah yang dipaparkan Ust.Yusuf Manshur dalam sebuah kajiannya live dari salah satu stasiun televisi swasta. Beliau tersadar akan sedekah yang selama ini jarang beliau lakukan. Akhirnya, beliau memutuskan untuk mengeluarkan sedekah sejumlah biaya operasi mata beliau untuk disalurkan ke mana saja yang membutuhkan, mulai dari panti asuhan, anak-anak yatim, pembangunan masjid, dsb.
Selang beberapa minggu setelah bersedekah itu, beliau mendapat sebuah anugerah dari Allah. Kontrol rutin beliau yang sebelumnya dokter menyarankan untuk operasi, kali ini hasilnya berbalik 180 derajat. Dokter menyatakan Bu Hana sembuh tanpa penjelasan apapun. Mata Bu Hana sudah dapat mereproduksi air mata secara normal, dan tetes mata tidak lagi diperlukan.
Begitulah jika sedekah kita keluarkan, dan kita salurkan kepada yang berhak dengan penuh kesadaran (keikhlasan). Sangat benar, bahwa sedekah dapat menyembuhkan penyakit. Dan yang pasti, Allah tidak akan pernah mengingkari janji-Nya, termasuk dalam hal ini.[]